Friday, July 08, 2005

Yang Penting, Ikhtiar kan?!

"...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf."
(QS. Al-Baqarah: 233)

Saya yakin, kita semua menyepakati satu hal, bahwa salah satu kewajiban utama seorang suami adalah memberi nafkah lahir batin bagi isteri dan anak-anaknya. Walaupun ukuran kecukupan nafkah itu berbeda antara satu keluarga dan lainnya, tapi ada satu hal yang harus kita pahami bersama, bahwa kewajiban adalah sesuatu yang memang harus dilaksanakan, atau setidaknya diupayakan untuk bisa terlaksana dengan sempurna.
--

"Trus siapa yang mau biayain kamu kuliah?"
"Ya, Cik Pung. Kan selama ini juga yang bayarin sekolah Bi Cik."

Sepenggal percakapan Jakarta - Bandung antara seorang remaja selepas SMA dengan adik kandung dari ibunya di suatu sore yang sejuk. Untuk sebagian orang, mungkin percakapan seperti ini bukanlah sesuatu yang sangat istimewa dan berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka. Memang wajar, bagi seorang keponakan untuk meminta bantuan biaya kuliah kepada bibi atau pamannya. Tapi bagi keluarga dari perempuan tadi, hal ini sangatlah menyedihkan dan memberatkan. Masalahnya bukan sekedar sejumlah materi yang harus disediakan untuk membiayai beliau kuliah. Bukan, tapi sebentuk tanggung jawab yang hilang dari seorang ayah kepada anak dan isterinya. Dan sungguh, ini adalah hal yang menyedihkan. Padahal menurut Al-Qur'an, disinilah letak qawwamah (kepemimpinan) kaum laki-laki.

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisaa': 34)

Allah memang telah menyatakan bahwa kelapangan rizki itu berbeda di antara masing-masing hamba-Nya. Dan karena itulah disyariatkan adanya zakat, infak dan sedekah, bahkan disebutkan bahwa nafkah yang kita berikan kepada keluarga kita juga bernilai sedekah.

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: "Satu dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu nafkahkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang kamu berikan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu, maka yang paling besar pahalanya yaitu satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu." (HR. Muslim)

Perempuan tersebut mengalami dilema berkepanjangan, demikian pula dengan keluarganya. Keinginan untuk membantu dan melindungi, demikian hebat bertempur dengan keinginan untuk memberi 'pelajaran' kepada sang ayah. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya dimana keluarga mereka hidup sebagai 'benalu' di pohon keluarga perempuan tadi. Berat, karena bukan sekedar biaya sekolah yang mereka minta, tapi juga biaya hidup sehari-hari, makan, ongkos, bahkan 'uang rokok' bagi sang ayah.

Terkadang saya berpikir, dimanakah rasa tanggung jawab sang ayah? Demikian bangga beliau me'nitip'kan anak dan isterinya kepada keluarga orang lain, begitu mudah beliau menyebut-nyebut bahwa ini semua adalah kewajiban dari keluarga adiknya, yang memang sedikit lebih lapang rizkinya, untuk membiayai mereka. Tidakkah beliau merasa bersalah, padahal beliaulah yang telah mengambil amanah atas seorang perempuan langsung dari Allah, dalam perjanjian yang kuat (mitsaaqan ghalizha).

Mungkin akan berbeda keadaannya jika memang yang bersangkutan telah berusaha sekuat tenaga, lalu hasil yang diperoleh tidak seberapa. Bukan mungkin, tapi pasti akan sangat berbeda. Toh, bagian masing-masing orang sudah ditetapkan oleh Allah jauh sebelum kita terlahir di muka bumi ini. Ikhtiar yang maksimal adalah satu-satunya kunci agar Allah membukakan pintu rizki-Nya kepada kita semua. Tapi, ketika ikhtiar itu pun tidak dilaksanakan, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa Allah telah menyempitkan pintu rizki-Nya bagi kita?

Saya pernah mendapat nasihat dari seorang sahabat. "Yang penting itu, mencari suami yang tetap berpenghasilan, bukan hanya berpenghasilan tetap." Saat pertama kali mendengar nasihat itu, saya tidak mengerti apa yang beliau maksudkan. Lalu seiring dengan berjalannya waktu, beberapa orang sahabat ikhwan saya bercerita tentang usaha-usaha kecil yang sedang mereka bangun dalam upayanya memenuhi kebutuhan keluarga, dan saya mulai mengerti maksud dari nasihat itu.

Terkadang kita menilai kemapanan seseorang - terutama laki-laki - hanya ketika beliau sudah mempunyai sejumlah "penghasilan tetap". Padahal, siapa yang bisa menduga ketika esok hari atau lusa tiba-tiba saja sebuah surat Pemutusan Hubungan Kerja mampir di atas meja beliau. Bukan sesuatu yang mustahil kan? Sebaliknya, dalam status "tetap berpenghasilan", tersirat sebuah semangat jiddiyah untuk tidak berputus asa dalam menafkahi keluarganya. Mungkin beliau mencari nafkah dengan jalan menjadi seorang pegawai (yang berpenghasilan tetap), atau menjadi pedagang (yang berpenghasilan tidak tetap), penjual jasa, penulis, peneliti, atau yang lainnya. Berbeda-beda caranya, dan pasti berbeda-beda pula jumlah materi yang akan dihasilkannya, tapi ikhtiar inilah yang bisa kita sama-sama nilai sebagai sebuah bentuk tanggung jawab seorang suami terhadap istri dan anak-anaknya.

"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan."
(QS. At-Thalaq: 7)

Jadi seperti judul dari artikel ini: Yang Penting, Ikhtiar kan?!
Do the best, and Allah will do the rest...

Wallahua'lam bis showab

--
Ket:
Bi Cik: Bibi Keci' = Bibi Kecil; panggilan bagi adik perempuan dari ibu dalam bahasa Palembang

No comments: