Tuesday, September 11, 2012

Susah-Susah Gampang jadi Orang Kaya


Momen pasca lebaran adalah momen repotnya para ibu tanpa ART (asisten rumah tangga). Mereka yang izin pulang kampung untuk berlebaran di tempat asalnya, seringkali dengan atau tanpa permisi, tidak kembali lagi ke tempat ia bekerja semula. Sebagian beralasan karena tempat kerja yang kurang nyaman, ga cocok sama majikan, menjadi TKI, buruh pabrik, atau hanya berganti lokasi pekerjaan. Terkadang hal ini juga sudah menjadi rahasia umum, merupakan permainan para agen penyalur pembantu. Saya pernah juga mengalami dilema ini dulu saat masih bekerja. Memikirkan urusan domestik rumah tangga –alias nyuci, setrika, nyapu, ngepel, masak– sekaligus memikirkan siapa yang menjaga anak2 saat mereka di rumah, atau siapa yang mengantar jemput mereka dari sekolah. Ya, ART menjadi satu solusi, terutama bagi ibu-ibu yang tinggal jauh dari orang tua. Untung bagi saya, rumah saya hanya sepelemparan batu dari rumah neneknya anak-anak :) jadi pengawasan anak-anak tetap oleh neneknya walaupun sudah ada ‘mbak’.

Saya pernah atau seringkali berpikir, jadi orang kaya itu enak. Mau apa saja, insyaAllah terpenuhi. Tidak perlu repot memikirkan bebersih rumah, karena semua ada yang melayani. Mau pergi kemana saja, ada yang mengantar, mau beli apa saja ada yang bisa di suruh. Enak banget kan? Tapi ternyata perbincangan saya dengan seorang sahabat saya pekan lalu, membuat saya berpikir ulang: ternyata jadi orang kaya itu susah-susah gampang.

Entah bagaimana awalnya, pertemuan kami senin lalu, berujung pada diskusi tentang ART dan manajemen pengurusan rumah tangga. Lawan diskusi saya, seorang ibu yang bisa dibilang termasuk dalam golongan ekonomi atas. Beliau bercerita dengan hebohnya tentang kerepotannya mengurus rumah. Dengan anak lima -yang paling kecil baru berusia 6 bulan- biasanya keluarga mereka dibantu  ntukang yang merawat kolam renang, dan satpam. Rumah tiga tingkat yang dibangun di atas tanah 1800 m itu, tentu saja memerlukan usaha lebih dari cukup untuk membersihkannya hanya seorang diri. Dia bercerita: pembantu saya yang balik dari kampung hanya 1 orang, sopir ga ada yang balik, tukang kebun belum pulang!!! Saya antara mau ketawa geli dan merasa kasihan saat mendengar ceritanya. Saat saya bertemu beliau pekan lalu itu, beliau sudah mendapatkan tambahan pengganti hanya 1 orang ART. 

Dengan dua orang ART itulah ia mengawali kisah kerepotannya: “Pagi aku bangun sebelum subuh, masak sarapan dibantu si mbak yang satu. Si mbak yang lain sambil gendong si bayi, disuruh untuk membangunkan anak-anak dan menyiapkan pakaian mereka. Beres masak, aku pegang si ade sebentar, trus kadang kalo sempet ikut makan. Si mbak berdua suruh beres-beres. Abis anak-anak sarapan, si ade dipegang mbak lagi, aku ngojek¬in anak-anak ke sekolah –sekolah anak-anaknya hanya 5 menit dari rumah, tapi harus bolak balik karena anaknya 3 orang yang sekolah– sepulang ngojek baru ngurus si bayi, mandiin, kasi makan. Trus mulai deh rutinitas mengerjakan tugas dari suami: beli ini-itu, telpon sana-sini, cek ini itu, dst. Suamiku setiap malam mengirim sms panjang tugas yang harus dikerjakan esoknya.” Dst... Hihihi, saya capek sendiri mendengarnya... Masih panjang sebenarnya cerita beliau, tapi saya rasa sampai sini pun kita sudah bisa membayangkan betapa repotnya mengurus rumah tangga yang semi-perusahaan seperti itu. Oia, suaminya pengusaha tapi hampir sebagian besar waktu dihabiskan di luar.

Banyak hal yang bisa saya ambil hikmahnya dari diskusi kami pagi itu. Pertama, tentu saya bersyukur. Rumah saya luasnya tidak sampai se-per-sepuluh dari rumah sang ibu. Alhamdulillah walaupun tetap repot, tapi masih bisa ditangani sendiri, jadi kalopun ga ada yang bantu paling tidak ga perlu sedemikian stres. Ternyata Allah memang memberi ujian itu sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Mungkin saat ini saya masih belum rela waktu-waktu me time¬ saya –ngemol, nonton korea, nyalon, diambil hanya demi mengurus rumah segede gaban. Makanya Allah ngasi rumah secukupnya aja, biar bisa diurus :p

Tapi dibalik kerepotan yang dialami sahabat saya itu, subhanallah-nya, beliau selalu menjumpai tamunya dalam kondisi sudah mandi, rapih dan cantik ^o^ Hayoooo yang ibu-ibu di rumah, jam berapa mandinya kalo ga ada acara ke luar ;p ?? Saya pernah juga mendapat nasihat ini dari salah seorang sahabat. Nasihat sederhana tentang daster. Dia selalu mengantar suami pergi, dan menyambut suami pulang dalam kondisi sudah rapih dan wangi. DASTER dipakai hanya sebagai pakaian tidur. Saya yang waktu itu baru berumah tangga, belum terlalu ngeh kenapa sedemikian ia menekankan tentang daster. Tapi setelah mengalami repotnya mengurus anak dan rumah, saya baru paham... Suami kita kerja di luar rumah, bertemu dengan perempuan-perempuan yang cantik dan wangi, dengan pakaian alakadarnya. Jangan sampe deh suami membandingkan mereka dengan istri di rumah yang tampangnya kusut, baju cuma daster, dan belon mandi...hadeuhhhh..

Pelajaran lain yang bisa saya ambil dari beliau adalah tentang kedermawanannya... sosok yang saya bicarakan ini, adalah penyandang dana dari lembaga Tahsin/Tahfidz Qur’an yang sedang saya dan teman-teman rintis. Tidak hanya sekedar penyandang dana, beliau juga mau berepot-repot membantu kami duduk bersama para calon siswa, membeli perlengkapan bahan mengajar, dst. Kami menggunakan rumah beliau untuk pendaftaran, dan tempat belajar sementara. Saat Ramadhan lalu, setiap hari keluarganya membagikan ta’jil di jalan bagi para musafir, kemudian membagikan zakat juga untuk masyarakat sekitar, dan ia juga mengundang beberapa ustadz untuk pengajian khusus di rumahnya setiap pekan: kajian tafsir, fiqih, rumah tangga, dll. Wuaaaa, untuk hal yang satu ini saya sangat iri pada beliau... Memang subhanallah efek uang jika dipegang oleh seorang kaya yang dermawan...

Ternyata, jadi orang kaya itu susah-susah gampang ya ^o^

No comments: