Monday, February 07, 2005

Pejuang Jalanan

Dedicated to: Jody, Soleh, dan semua anak yang dibesarkan oleh kejamnya ibukota...

Malam 1 Ramadhan, 1425 H. Pukul 19.00 di seberang Stasiun Kereta Api Lenteng Agung.

Harusnya tarawih. Tapi jam pulang kantor hari ini belum dipercepat, padahal jalanan dua kali lebih padat dari biasanya. Niat awal sih ingin shalat Maghrib di rumah, tapi ketentuan Allah telah menetapkan kakiku untuk berdiri di sini, menunggu angkutan umum menuju rumahku. 5 menit, 10 menit.. kemana ini si bis kota teh? Kenapa belum ada tanda-tanda akan muncul? Tiba-tiba.. dorr!! Astaghfirullah.. Aku tersentak kaget. Suara apa tuh? Tengok kiri kanan bersama para calon penumpang yang lain. Tampak 3 orang anak kecil yang sedang bermain petasan di depan sebuah toko.

Setengah jengkel, akhirnya para calon penumpang mulai berpindah mencari tempat yang aman. Aku cueks... Dorr!! Lagi-lagi. Astaghfirullah... lama-lama jantungan juga nih. Sang pemilik toko keluar dan memarahi kedua anak itu. Sebentar mereka lari, mungkin karena takut akan kemarahan sang pemilik toko. Kuperhatikan mereka, berlari menuju segerombolan anak muda, yang kukenali sebagai pengamen. Tak lama mereka kembali lagi, dan mulai mengambil ancang-ancang untuk mengulangi aksinya. Kejengkelanku memuncak, akhirnya aku dekati mereka. Aku tegur sambil mencoba menjelaskan tentang bahaya petasan. Mereka pun saling menyalahkan, setelah sedikit perdebatan terjadi di antara kami, akhirnya mereka sepakat untuk menghentikan permainan mereka. Itu juga setelah sedikit aku ancam akan membawa mereka ke pos polisi terdekat. (Nyebelin juga tuh polisi, masa' cuma ngeliatin dari jauh aja?!).

Case closed. Aku kembali kepada aktivitasku semula, menunggu bis menuju rumahku. Tak lama salah seorang anak tadi mendekatiku dan 'merayuku' untuk memberinya uang, katanya untuk ongkos pulang ke rumah singgah. Aku pandangi dia, dan temannya. Aku yakin, mereka belum makan. Kucoba menghitung dalam hati sisa uang yang ada di dompetku, bismillah... "Dek, kita makan yuk. Udah makan malem belum? Temennya yang tadi di ajak ya. Tuh, di warung itu aja." Kuputuskan untuk mengajak mereka makan.

Namanya Jody, 11 tahun, tinggalnya di rumah singgah di Kelapa Dua. Yang satu namanya Soleh, 12 tahun, tinggal di rumah singgah di daerah Manggarai, tapi lebih sering tidur di terminal Depok. Tak banyak cerita yang bisa aku peroleh dari mereka. Kami hanya mengobrol ringan seputar kegiatan mengamen mereka, tarawih yang sedang berlangsung di masjid terdekat, juga tentang teman-teman mereka disini. Mungkin bisa saja aku korek informasi lebih jauh dari mereka, tapi aku tidak ingin. Aku tidak ingin terlalu jauh melibatkan perasaan. Karena aku tahu, masing-masing dari mereka pasti menyimpan kisah yang menyedihkan. Tuh kan, belum apa-apa sudah hiks-hiks..

Melihat mereka makan dengan begitu lahap (iyalah, itu nasi pertama yang mereka makan setelah sarapan hari kemarin), rasanya air mataku saja sudah akan tumpah. Aku teringat dengan adikku, betapa sulit untuk memintanya memakan makanan yang benama nasi. Bukan tidak pernah, tapi jika diharuskan memilih antara nasi dan indomie, pastilah pilihan kedua yang diambilnya. Aku juga teringat dengan seorang sahabatku yang tidak pernah menghabiskan makanannya. Padahal kami selalu mengingatkan tentang kemubaziran. Aku juga teringat dengan berbagai macam jenis makanan yang pernah aku coba. Aku teringat dengan segala kenyamanan yang ada di rumah. Kehangatan keluarga, makanan yang selalu tersaji tanpa aku harus bersusah payah mencarinya, atau hanya tinggal melangkahkan kaki menuju warung terdekat untuk menikmati menu favorit masing-masing. Ah, melihat ke 'bawah' memang pasti akan membuat kita banyak bersyukur..

Ya Allah, semoga Engkau masih berkenan untuk menerima rasa syukur ini. Jangan Engkau azab kami karena kufur atas nikmat-Mu, Ya Rabb, ampuni kami... Astaghfirullah...

'Anak Jalanan'. Ah, aku tidak ingin menyebut mereka seperti itu, walaupun mereka memang dibesarkan di jalanan. Aku ingin menyebut mereka: Pejuang Jalanan, boleh kan (wah, Street Fighter dong?!). Mereka masih kecil, tapi mereka dituntut untuk bertanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri. Kemana Ayah? Kemana Ibu? Kemana Saudara? Kemana Pemerintah? Ah... tidak akan ada habisnya menyalahkan orang lain untuk keadaan yang sudah menjamur seperti ini. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing, peduli apa mereka akan seorang pengamen kecil di pinggiran ibu kota seperti ini. Pemerintah terlalu sibuk mencari celah untuk pelunasan hutang luar negeri yang semakin mencekik, mana sempat lagi mereka memikirkan kehidupan anak-anak terlantar, yang memang seharusnya berada di bawah pemeliharaan mereka (masih ingat UUD kita kan??).

Jika saja, semua orang sadar bahwa mereka mempunyai kewajiban atas status yang mereka sandang, apakah itu seorang 'Ayah', 'Ibu', 'Kakak', 'Saudara' apalagi 'Pemerintah'. Jika saja semua orang sadar bahwa rizki itu pemberian Allah, yang harus kita jemput, bukan sekedar menunggu; pastilah tidak akan ada orang-orang yang bermalas-malasan di rumah dengan keyakinan bahwa rizki mereka sudah ada yang mengatur. Jika saja semua orang sadar untuk meletakkan kepentingan primer di atas kepentingan sekunder atau bahkan tersier mereka, pastilah tidak akan ada anak-anak yang berhenti sekolah hanya karena orang tuanya menyisihkan uang untuk membeli antena parabola, atau mungkin pemerintah akan lebih meributkan masalah kurikulum pendidikan Indonesia, bukannya malah mempersengketakan baju seragam dan hari libur. Ah, sejauh manakah tanggung jawab bangsa ini terhadap masa depan generasi penerusnya?

Kulirik jam tanganku, masya Allah.. sudah hampir jam setengah 9 malam. Dengan agak tergesa aku sudahi obrolan kami, dan mengajak mereka keluar dari warung itu. Alhamdulillah, ternyata bis yang aku tunggu, tak lama kemudian lewat. Kulambaikan tangan dan kuucapkan salam, kami pun berpisah. Berpisah, dengan berjuta perasaan tak terlukiskan tersisa di hatiku...

----
Setelah malam itu, beberapa kali aku sempat melihat sosok kecil Jody di tempat yang sama. Sempat juga hadir untuk menyapa, tapi lebih sering memperhatikan dari jauh. Dia menunggu... Entah apa yang dinantinya. Entah siapa yang ditunggunya. Mungkin dia hanya menunggu, roda kehidupan akan berputar baginya, menunggu agar takdir baik bersahabat baginya. Ingin rasanya aku merengkuhnya dan mengabulkan semua mimpinya. Mimpinya ingin sekolah, mimpinya ingin menjadi insinyur, mimpinya ingin membahagiakan ibu dan adik-adiknya. Jody, maaf ya... Mba' tidak bisa membantu sejauh itu... Mungkin hanya limpahan doa yang bisa kurangkai untukmu dan teman-temanmu.

Semoga Allah berkenan menjaga kalian tetap berada dalam hidayah-Nya. Semoga Allah memuliakan kalian walaupun manusia memandang sebelah mata kepada kalian. Satu keyakinan yang harus kita pupuk bersama, hidup ini adalah ujian. Kesulitan adalah ujian, sebagaimana kelapangan pun demikian. Kemiskinan adalah ujian kesabaran, sebagaimana kekayaanpun membutuhkan kesabaran lebih dalam mengarunginya. Ujian, yang mungkin akan menaikkan peringkat kita di sisi Allah, atau justru akan merendahkan kita serendah-rendahnya. Wallahua'lam...

No comments: