Sore temans...
Ingat doktrin ini?
Pasal 1: "Senior selalu benar"
Pasal 2: "Jika senior salah, lihat pasal 1"
Doktrin yang sangat sering digunakan dalam bingkai ospek. Doktrin yang serupa juga sering kita jumpai dalam sebuah perusahaan atau komunitas tertentu.
I've been there before, I know how it feels.
Salahkah doktrin tersebut? Dalam beberapa hal, diktator wajib-kudu-musti ada. Ada hal-hal yang hanya perlu kita -sebagai bawahan- tahu hasilnya tanpa perlu tahu pembahasan di belakangnya. *Saya jadi ngebayangin menjadi prajurit disini, taat dan patuh tanpa banyak bicara, terutama terkait strategi perang.* Tapi dalam banyak hal, justru sebaliknya yang terjadi. Sebenernya sih, itu tergantung pada atmosfir atau iklim yang ingin dibangun pada perusahaan atau komunitas tertentu. Kalo saya sih, prefer rasa kekeluargaan yaaaaaa...
Saya, seorang plegmatis. Kalau ada perdebatan, saya cenderung lari :p
Tanya saja sama teman-teman kuliah saya, dulu mereka meletakkan mandat bagi saya untuk menjadi anggota Kongres -sejenis DPR- di kemahasiswaan kampus untuk mewakili jurusan, dan apa mau dinyana, saya mah setia menjadi pengamat saja ^o^ Kalo dengerin orang berdebat panjang lebar, hati ini suka dag-dig-dug-der. Antara gemes mau membela diri, ga tahan karena di-pojokkan, tapi juga bete mendengar orang berdebat kusir, dst, dll.
Berada dalam sebuah komunitas yang mempunyai pemimpin diktator, membuat saya belajar untuk menjadi tangguh. Ketika tanpa alasan jelas saya diputus kontrak, ketika secara sepihak saya disalahkan, dan ini terjadi juga pada beberapa teman, woooowwww, ternyata itu cara Allah untuk menempa mental saya menjadi orang yang kuat. Terkadang, pelajaran hidup lebih banyak bisa kita ambil dari kasus orang lain :)
Akhir-akhir ini saya kembali menemui fenomena doktrin ini. Dalam satu komunitas yang saya sayangi, ternyata saya merasa ada sebagian kecil orang yang menganggapnya sebagai "ini komunitas punya gue, lo ikut apa mau gue". Saya jadi tercenung, bagaimana sih sebaiknya seorang pemimpin itu? Rasulullah SAW, Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab ra., sahabat Rasul yang lain, adakah yang memegang prinsip ini?
Contohlah Rasulullah. Beliau selalu mengajak sahabatnya untuk berdiskusi terkait hal-hal yang maslahat untuk ummat. Saat perang Khandaq, Rasul sempat mengusulkan satu hal, lalu dipertanyakan oleh sahabatnya "Ya Rasul, apakah keputusan anda merupakan wahyu dari Allah atau bukan?" dan Rasul menjawab "Bukan". Maka sang sahabat -Khalid bin Walid- mengusulkan strategi lain yang akhirnya membawa kepada kemenangan peperangan tersebut. Seorang Rasulullah...... bersedia menerima masukan.
Mari berkaca lagi khalifah Umar ra. Ia yang tinggi besar dan ditakuti oleh kawan dan lawan, menunduk takzim saat diingatkan oleh seorang perempuan terkait keputusannya membatasi mahar. Apakah kedigdayaannya membuat ia tidak mau menerima masukan?
Siapalah kita untuk merasa selalu benar atas keputusan kita? Saat seseorang memberimu nasihat, itu berarti seseorang itu menyayangimu, ingin agar engkau menjadi lebih baik, ingin agar engkau tidak salah langkah...
~sore kelabu :'(
»» Baca Selanjutnya...