Saturday, December 24, 2005

Haru

Entah rasa apa yang ada di dalam hatiku, aku sendiri tidak bisa mendefinisikannya. Marah, kesal, benci, kecewa, cinta, sayang, sedih... Entahlah, semua sudah berbaur menjadi satu. Yang aku tahu, hanya tetes air mata yang tiba-tiba saja mengalir. Tidak ada teriakan, bentakan, atau apapun.. mungkin hanya diri ini yang sedang merasa sensitif luar biasa.

Lalu, tiba-tiba laki-laki itu ikut meneteskan air mata. Dia menangis? Saat kutanya mengapa, ia sendiri tidak tahu. Melihatmu menangis, aku ikut sedih. Itu jawabnya. Aku terharu... Bukannya berhenti, sedu sedan tangisku makin kencang. Tapi aku tahu sebabnya kini. Haru..
»»  Baca Selanjutnya...

Thursday, December 22, 2005

When Love and Hate Collide [2]

Aseli loh, cerita ini nyata! Nyang nulis neeh yang ngalamin sendiri. Tapi sekarang sudah bisa menerima fakta bahwa murid-muridku memang istimewa :D Thank you atas komentar2 kalian yang lucu-lucu ^_^ Subhanallah.. Menjadi guru memang bukan hal yang mudah kan? Tolong doakan aku ya, sahabat-sahabat..
»»  Baca Selanjutnya...

Thursday, December 15, 2005

My oh My..

Hari ini buka e-mail. Oh, My God!! Astaghfirullah... 1369 new messages. Last week... 1102 new messages. Diapusin banyak2.. sisa masih sekitar 720-an. Itu yang udah kebaca cuma sekitar 50-60 mail. Trus yang sekarang mo digimanain lagi ya? Diapus, takut ada yang penting. Dibaca semua?? O-o, jelas enggak mungkin sekali donks. So, ada saran gimana cara bacanya????


~ Maafkan untuk teman2 yang mengirim mail ke yentri. Amat sangat tidak bermaksud untuk sombong dengan tidak membalas email kalian... tapi apa dayaku.. huhuhu...
»»  Baca Selanjutnya...

Wednesday, December 07, 2005

When Love and Hate Collide..

Walaupun aku yakin warna mukaku tidak berubah merah, tapi tak dapat kupungkiri, kurasakan seluruh ototnya menegang. Dengan menekan jutaan perih yang menyergap dadaku, kuambil satu demi satu bagian kertas ujian yang baru saja dirobek-robek oleh salah seorang muridku.

“Kasih aja saya nilai nol, Bu. Gampang kan?! Ibu enggak perlu repot-repot nyuruh saya ngerjain latihan dan ujian”, tidak sedikitpun rasa bersalah kutangkap dari ucapannya. Justru kurasakan dia mengajukan surat tantangan kepadaku. Mungkin, dia sangat yakin kalau aku tidak akan berani menahan nilainya untuk keluar di pembagian rapor akhir semester ini. Aku terhenyak. Pernyataannya membuatku merasa gagal menjadi seorang pendidik, bukan sekedar pengajar.

Kusadari, aku mungkin bukan guru yang baik, walaupun aku tetap berusaha untuk itu. Lulusan IKIP atau bukan, menurutku tidak akan menentukan kualitas pengajaran yang diberikan oleh seorang guru kepada anak didiknya. Tapi yang aku tahu jelas, aku memang belum pernah mengajar. Beberapa kali memberi tambahan pelajaran kepada anak-anak SMP dan SMA rasanya tidak akan bisa disamakan dengan menjadi seorang guru di sekolah. Jelas, aku memang belum berpengalaman, apalagi dalam hal mendidik anak-anak ‘istimewa’, seperti mereka yang dengan suka hati melempar batu bata ke teman-teman yang mencandainya, atau mereka yang tiba-tiba saja terdiam di pojok kelas dan menangis tersedu, atau mereka yang dengan sengaja merobek kertas ujian di depan guru yang memberikannya!

“Ibu sih, kelewat sabar dan baik. Orang kayak dia sih dihukum aja, Bu. Suruh lari keliling lapangan sekolah kek, ato suruh ngebantuin ngeberesin sampah organik selama seminggu”, kata anak muridku yang lain, mencoba memberi saran.

“Iya, Bu. Suruh aja dia kerjain lagi ujian itu, trus bikin laporannya diketik lengkap pake komputer, beserta uraiannya. Biar kapok tuh!” usul yang lain. Aku hanya tersenyum.

“Tau enggak sih, saya tuh enggak butuh nilai kalian. Kalo kalian mau, bisa aja saya kasih semuanya nilai 8 di rapor. Tapi, apa kalian bisa tahan dengan kebohongan seperti itu? Yang saya inginkan, kalian paham dan bisa menggunakan apa yang kalian pelajari dalam kehidupan kalian, saat ini atau mungkin nanti. Tanpa kalian sadari, nilai itu bisa membuat kalian memberikan citra kepada diri kalian sendiri, dan terkadang tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Ingat kan, You are what you think you are!” jawabku panjang lebar.

Aku memang tidak terlalu ingin menilai pemahaman seseorang dengan skala angka, walaupun terkadang memang hal itu tidak bisa dihindari. Justru menurutku, angka tertinggi adalah ketika ilmu yang dipelajarinya itu dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupannya. Nak, saya tidak butuh nilaimu!!

Tapi dalam hati, kuakui juga bahwa usulan mereka ada benarnya. Jika didiamkan, pasti dia akan mengulangi kembali melakukannya. Bimbang... Tiba-tiba saja rekaman pembicaraan dengan ibunya di awal semester lalu terulang kembali di kepalaku.

“Saya minta maaf Bu, tapi anak saya ini memang emosinya sangat labil. Sedikit saja pemicu yang membuatnya tidak nyaman, dia bisa menangis meraung-raung, menjerit atau melempar barang-barang. Dia pernah mengalami satu kejadian yang membuatnya depresi berat” cerita ibunya dengan wajah sendu waktu itu. Aku yakin pasti sedih, mendapati anak kebanggaannya agak sulit untuk diterima dalam lingkungannya, termasuk lingkungan pendidikan. Setidaknya, kepindahan sekolah yang lebih dari dua kali, sudah memaksanya menerima keadaan sang anak, siap ataupun tidak. Yang aku tidak habis pikir, kenapa orang tuanya tidak berinisiatif menemui psikolog untuk mengobatinya? Ah sudahlah, aku tidak ingin tahu rahasia dapur orang lain. Mereka pasti telah memikirkan yang terbaik untuk anak mereka.

Sebenarnya aku dan guru-guru yang lain pun merasa berat untuk menerima kenyataan ada anak-anak ‘istimewa’ di antara murid-murid kami. Sekolah kami memang agak berbeda dari yang lain, tapi tetap saja belum sepenuhnya bisa menerima kekhususan yang terlampau khusus.

Jujur saja, aku tidak pernah keberatan untuk bercanda dengan anak-anak, malahan aku menikmatinya. Bahkan terkadang, akupun ikut bermain sepakbola dengan mereka di halaman sekolah. Walau sudah bisa dipastikan aku hanya menjadi penyemangat dan pengawas garis. Anak-anak nakal, itu hal yang wajar. Mereka memang masih dalam perjalanan untuk menjadi diri mereka yang seutuhnya! Character building masih berproses dan tarik-menarik antara norma positif dan negatif masih sangat mendominasi. I’ve been there before. Aku tahu bagaimana besarnya keinginan mereka untuk dihargai dan dipandang sebagai “AKU”.

Hanya saja, aku masih menduga-duga hingga hari ini, kenapa anak itu berulah hanya di kelasku? Tepatnya, lebih sering di saat aku mengajar. Mungkinkah…

Kutepis segala kemungkinan yang bermain di kepalaku. Aku tidak ingin memelihara prasangka terhadap anak didikku sendiri. Kubereskan kertas-kertas kerja yang sudah menunggu untuk aku selesaikan. Saatnya shalat Ashar, aku harus mencari pencerahan hari ini…



--------
* Ini fiksi ato bukan, hayoooo ...??!! Guess..
Yang jawabannya bener, nanti aku kasih hadiah... Ucapan SELAMAT dan TERIMA KASIH!! ^_^
»»  Baca Selanjutnya...