Monday, February 28, 2005

Siapa yang Bayar?

Sabtu, 26.02.05 jam 09.30 pm

Berawal dari sms seorang teman 4 hari yang lalu, mengingatkan untuk mulai mengisi kajian rutin di salah satu sekolah di dekat rumahku hari Sabtu ini. Lalu aku ingat, seharusnya pagi ini juga ada satu lagi amanah kelompok yang harus aku tunaikan. Makanya, sejak kemarin aku sibuk. Bolak-balik telepon, cari-cari dan baca-baca buku, biasa.. nyiapin materi. (Duh, jadi malu.. ketauan nih, kerjanya SKS ^_^...).

Ternyata kesibukanku ini menarik perhatian Mama. Maklum, dulu waktu di Bandung aku tidak sempat banyak berbagi cerita saat Mama berkunjung. Jadilah Mamaku tercinta begitu bingung melihat anak manisnya ini jungkir balik mempersiapkan mentoring. (hehehe.. agak hiperbola ya??). Mama mulai ikut nimbrung dalam kesibukanku. Nanya-nanya tentang mentoringnya: dimana, siapa pesertanya, materinya, baca buku apa, dst. Ada satu poin pertanyaan beliau yang untuk aku pribadi, hal yang lucu, tapi mungkin untuk beliau itu selalu ingin ditanyakan. "Yen, kalo mentoring begini dibayar engga?" Hah?? Kaget aku. Hihihi, jujur saja aku ketawa waktu Mama nanya begitu. Maaf ya, Ma.. ^_^.

Teringat dulu masa-masa aku jadi Senator mewakili himpunan di Kongres dan hampir tiap hari pulang malam untuk sebuah agenda yang berjudul: Sidang!! Malahan pernah pulang pagi loh! Astaghfirullah.. Capek? Jelas! Ibadah berantakan, kuliah juga lumayan keteteran.. Mana aku satu-satunya perempuan di rumah, jadi tanggung jawab pekerjaan beberes dan bebersih ada di pundakku. Tapi aku coba menikmatinya sambil mencari pembelajaran di baliknya, dan alhamdulillah.. masa-masa itu sudah terlewatkan. Kata Papa: "Enakan juga jadi anggota DPR sekalian Yen, kalo sidang dibayar. Ini mah, boro-boro dibayar. Yang ada juga, malah ngerepotin orang serumah." (Hehe.. soalnya aku langganan minta jemput sama Kaka' kalo pulang malam. Harap maklum sodara-sodara, rumahku jauuuh dari kampus..). Aku jawab sama Papa: "Ya.. namanya juga mahasiswa..".

Back to pertanyaan Mama, aku lumayan bingung jawabnya. Sambil masih tetep nyengir, aku bilang.. "Siapa yang mo bayar Ma?". Trus mengalirlah diskusi kami tentang mentoring and stuff!! Duh Mama, tidak layak banget untukku meminta bayaran. Kalo bisa malah, aku mau bayar berapapun untuk tetap mendapatkan ladang amal ini. Ah Mama, kami hanya berusaha untuk menjadi salah satu komponen pembangkit ummat ini. Cukuplah Allah yang mencatat segala amal kami, hanya bayaran dari Allah yang kami harapkan… Emang sih, capek!! Belum lagi jika harus ke tempat yang bisa dibilang cukup jauh, dan ternyata.. acaranya engga jadi.. Hiks..

Seakan teguran dari Allah atas perasaan 'letih'ku. Seorang adik mengirim sms dengan isi yang cukup sederhana, tapi mampu membayar lunas semua rasa letih itu!! Sebagian isi smsnya berbunyi: "Teh, saya bersyukur ada Teh Yentri di Jakarta." Aku sampai bingung, ada apa nih?? Tapi, subhanallah.. Sungguh, mungkin inilah bayaran yang diberikan Allah kontan untuk setiap penyeru ke jalan-Nya, walaupun aku masih belum berani untuk menyebut diri bagian dari barisan mulia itu..

Astaghfirullah.. aku benar-benar tersudut oleh pikiranku sendiri. Kok sempet-sempetnya sih Yen, mikirin sebuah keletihan dunia, padahal nikmat yang didapatkan jauh lebih besar???
Ya Ghaffar, ampuni lintasan pikiranku yang tidak pada tempatnya..
Ya Rahman, terima kasih atas teguran yang luar biasa indah ini...


Nikmat itu...
Melihat tingkah polah mereka, aku terhibur.. walaupun itu mengingatkanku masih banyak pe-er yang harus aku selesaikan.
Setiap kisah yang mereka bagi, membuatku seakan ingin selalu melindungi mereka, berada di samping mereka, menggenggam erat tangan mereka, membuat mereka merasa tidak sendirian!!
Setiap perhatian kecil yang mereka berikan untukku, membuatku tersanjung.
Setiap doa yang kulantunkan dengan merekam wajah mereka di ingatan, selalu saja berbuah menjadi air mata, ketika teringat banyak hal yang belum aku lakukan..
Semua telepon, sms, surat, email, message mereka di YM, membuatku tak ingin menukar apapun dengan kenikmatan ini..
[Begini kali ya rasanya, kalo udah cinta!!]

Aku pernah beberapa kali mengalami perpisahan dengan adik-adikku. Sunatullah memang, setiap pertemuan pasti akan diakhiri dengan sebuah perpisahan. Tapi ketika hati-hati itu sudah terikat demikian kuat, selalu ada tetes air mata yang jatuh menjelang momen-momen terakhir itu… Teringat semua kesiaan kata dan perbuatan, teringat semua hal yang belum sempat aku persembahkan, teringat semua kata dan tingkah mereka yang pasti membuatku rindu! Sungguh, merupakan nikmat yang hanya bisa dirasakan sendiri..

Tidak!! Bayaran bukanlah ukuran. Kenikmatan ini tidak bisa ditukar dengan apapun!! Fabiayyi-alaa irabbikuma tukadzdziban? Nikmat Rabbmu yang mana lagikah yang hendak kamu dustakan?

Fawatstsiqillahumma raabithotaha..
Ya Rabb, eratkanlah ikatan hati-hati kami..

--
For my Mommy, I Love U so much! Thanks for asking...
»»  Baca Selanjutnya...

Monday, February 21, 2005

Pilihan yang Salah?!

Terkadang naif sekali kita. Selalu menganggap diri yang paling benar, yang lain salah. Selalu menganggap kelompok kita yang paling sohih, yang lain tidak. Na'udzubillahi min dzalik, semoga kita tidak pernah berfikir bahwa hanya orang-orang dari kelompok pergerakan kita yang muslim, dan yang lain kafir, padahal mereka masih mempercayai Allah sebagai ilah mereka dan Rasulullah SAW sebagai utusan-Nya.

Teringat nasihat seorang ustadz di salah satu majalah islam medio tahun lalu. Beliau berkata "Betapa banyak yang bersama kita, tapi mereka bukan bagian dari kita. Dan betapa banyak yang tidak bersama kita, tapi mereka merupakan bagian dari kita." Nash yang kita pegang adalah sama, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Tujuan kita pun sama, ingin menegakkan kembali Daulah Islamiyah di muka bumi. Kalaupun penafsiran, langkah kerja, dan wasilah (sarana) yang kita pakai berbeda-beda, itulah buktinya kesesuaian Islam dengan fitrah manusia. Ketika kita dihadapkan kepada pilihan dengan dalilnya masing-masing, ambillah yang paling mudah dan sesuai menurut kita. Toh ijtihad yang salah pun pasti bernilai satu. Bukankah persatuan umat Islam-lah yang harus kita kedepankan? Bukankah kita pernah berikrar untuk bertolong-menolong dalam hal yang disepakati dan bertoleransi dalam hal yang tidak kita sepakati?

Lalu kenapa ketika seorang sahabat kita menikah bukan dengan anggota kelompok kita, seakan semua kepala mendidih? Dengan sombong kita sebut mereka orang ammah, atau HL (Harokah Lain).. Wah, mesti hati-hati tuh, akhi, ukhti... So what gitu loh, kalo HL atau ammah? Mereka tetap saudara kita seiman. Jangan kedepankan su'udzon kita terhadap saudara. Seharusnya kita yakin, mereka pasti mempunyai pertimbangan tersendiri sebelum melalui jalan yang akhirnya mereka pilih. Kita sebagai sahabat, sekaligus saudaranya, harus tetap menjaga hak ukhuwah beliau, memotivasinya, dan terus mentausiyahinya. Bukannya malah menyalahkan, menyudutkan, bahkan menghukum dengan cara yang tidak baik. Mungkin, justru sikap seperti inilah yang membuat sebagian orang 'berlari' dari kelompok kita. Mana ukhuwah? Mana salamatus shadr (berlapang dada)? Mana tawashi bil haq dan tawashi bish shobri? Saya tahu, ada hal-hal tertentu yang berat untuk disepakati ketika suami dan istri datang dari kelompok pergerakan yang berbeda. Ada hal-hal yang harus dijaga kerahasiaannya dari masing-masing, dan membutuhkan kelapangan hati untuk menerimanya. Tapi itu sama sekali bukan justifikasi kita untuk bersikap merendahkan pilihan mereka!

Hidup ini adalah pilihan, dan setiap orang akan diminta pertanggungjawaban atas pilihannya itu. Seorang saudara hanya bisa memberi saran dan masukan, bukan paksaan, apalagi ancaman. Keputusan itu sendiri harus dibuat oleh yang berkepentingan, karena hidup kita adalah kita yang akan menjalaninya...

--
Teriring do'a untuk seorang adik, sekaligus sahabat yang baru menggenapkan setengah agamanya.
Kami hanya mendoakan agar jalan apapun yang kamu pilih, tidak akan mengeluarkanmu dari barisan panjang para penegak agama Allah, tidak akan menyurutkan langkahmu untuk tetap memperjuangkan Islam, hingga tidak ada lagi fitnah di muka bumi dan semua ketaatan hanyalah untuk Allah...
Baarakallaahu laka, wa baaraka 'alaika wa jamaa'a baina kuma fii khairiin.
»»  Baca Selanjutnya...

Wednesday, February 16, 2005

Ga Mutu!!

Yap! Mungkin itulah yang aku rasakan akhir-akhir ini ketika membaca postingan di blogku sendiri. Teteup.. full of emotion, tapi kayaknya mulai tidak terarah. Bahasanya terlalu ambigu, alurnya lompat-lompatan, trus juga isi dari postingan itu sendiri, ga penting banget gitu loh! Hua... what's wrong with me? Dulu pertama kali aku membuat blog, sudah kuniatkan benar-benar ingin berbagi hikmah dari apa yang terjadi di sekitarku. Astaghfirullah... mungkin hati ini mulai kotor, sehingga hikmah itu mulai sulit kulihat. Mungkin juga pikiran ini terlalu terbelit oleh banyak hal, sehingga fokusnya buram dan tidak terarah. [Ah.. hanya alasan!]. Hei.. what should I do? Ayo, yen.. cari kembali ketenangan itu...

---
Sebenernya bermaksud mengiklankan pelatihan menulisnya IMB ^_^ ...
Yuu.. ikutan yu, semoga bisa sedikit mencerahkan. Agar blog ini kembali menemukan warna-warni kisahnya. Sehingga tujuan utamanya untuk berbagi rasa dan memetik hikmah, bisa tetap berjalan pada koridornya. InsyaAllah... (Tunggu iklan selanjutnya, atau kunjungi website IMB tercinta!!)
»»  Baca Selanjutnya...

Monday, February 14, 2005

Mimpi yang Nyata

Semua seakan mimpi. Entah kalian menyebutnya mimpi buruk atau mimpi indah.Tapi bagiku, itu adalah mimpi yang tak berwujud. Mimpi yang sebenarnya telah menjadi harapan sekian lama. Mimpi yang ingin aku rancang seindah dan sesempurna mungkin. Walau aku yakin kesempurnaan itu tak mungkin tercapai. Mimpi yang bisa membawaku terbang tinggi ke awan.

Hingga tadi pun, aku masih menganggapnya mimpi. Lalu ketika pertanyaan itu (lagi-lagi) terlontar. Aku sadar, ini semua bukan mimpi. Aku tidak sedang tidur atau berimajinasi. Ini semua kenyataan, yang siap atau tidak harus dihadapi. Dan disinilah aku, ingin mencoba menjalaninya. Lalu mengapa ragu? Bukankah ia adalah buah dari harapan yang telah lama terpupuk?

--
Salamku untuk seorang sahabat yang baru terbangun dari 'mimpi' panjangnya tentang sebuah masa depan..
»»  Baca Selanjutnya...

Monday, February 07, 2005

Pejuang Jalanan

Dedicated to: Jody, Soleh, dan semua anak yang dibesarkan oleh kejamnya ibukota...

Malam 1 Ramadhan, 1425 H. Pukul 19.00 di seberang Stasiun Kereta Api Lenteng Agung.

Harusnya tarawih. Tapi jam pulang kantor hari ini belum dipercepat, padahal jalanan dua kali lebih padat dari biasanya. Niat awal sih ingin shalat Maghrib di rumah, tapi ketentuan Allah telah menetapkan kakiku untuk berdiri di sini, menunggu angkutan umum menuju rumahku. 5 menit, 10 menit.. kemana ini si bis kota teh? Kenapa belum ada tanda-tanda akan muncul? Tiba-tiba.. dorr!! Astaghfirullah.. Aku tersentak kaget. Suara apa tuh? Tengok kiri kanan bersama para calon penumpang yang lain. Tampak 3 orang anak kecil yang sedang bermain petasan di depan sebuah toko.

Setengah jengkel, akhirnya para calon penumpang mulai berpindah mencari tempat yang aman. Aku cueks... Dorr!! Lagi-lagi. Astaghfirullah... lama-lama jantungan juga nih. Sang pemilik toko keluar dan memarahi kedua anak itu. Sebentar mereka lari, mungkin karena takut akan kemarahan sang pemilik toko. Kuperhatikan mereka, berlari menuju segerombolan anak muda, yang kukenali sebagai pengamen. Tak lama mereka kembali lagi, dan mulai mengambil ancang-ancang untuk mengulangi aksinya. Kejengkelanku memuncak, akhirnya aku dekati mereka. Aku tegur sambil mencoba menjelaskan tentang bahaya petasan. Mereka pun saling menyalahkan, setelah sedikit perdebatan terjadi di antara kami, akhirnya mereka sepakat untuk menghentikan permainan mereka. Itu juga setelah sedikit aku ancam akan membawa mereka ke pos polisi terdekat. (Nyebelin juga tuh polisi, masa' cuma ngeliatin dari jauh aja?!).

Case closed. Aku kembali kepada aktivitasku semula, menunggu bis menuju rumahku. Tak lama salah seorang anak tadi mendekatiku dan 'merayuku' untuk memberinya uang, katanya untuk ongkos pulang ke rumah singgah. Aku pandangi dia, dan temannya. Aku yakin, mereka belum makan. Kucoba menghitung dalam hati sisa uang yang ada di dompetku, bismillah... "Dek, kita makan yuk. Udah makan malem belum? Temennya yang tadi di ajak ya. Tuh, di warung itu aja." Kuputuskan untuk mengajak mereka makan.

Namanya Jody, 11 tahun, tinggalnya di rumah singgah di Kelapa Dua. Yang satu namanya Soleh, 12 tahun, tinggal di rumah singgah di daerah Manggarai, tapi lebih sering tidur di terminal Depok. Tak banyak cerita yang bisa aku peroleh dari mereka. Kami hanya mengobrol ringan seputar kegiatan mengamen mereka, tarawih yang sedang berlangsung di masjid terdekat, juga tentang teman-teman mereka disini. Mungkin bisa saja aku korek informasi lebih jauh dari mereka, tapi aku tidak ingin. Aku tidak ingin terlalu jauh melibatkan perasaan. Karena aku tahu, masing-masing dari mereka pasti menyimpan kisah yang menyedihkan. Tuh kan, belum apa-apa sudah hiks-hiks..

Melihat mereka makan dengan begitu lahap (iyalah, itu nasi pertama yang mereka makan setelah sarapan hari kemarin), rasanya air mataku saja sudah akan tumpah. Aku teringat dengan adikku, betapa sulit untuk memintanya memakan makanan yang benama nasi. Bukan tidak pernah, tapi jika diharuskan memilih antara nasi dan indomie, pastilah pilihan kedua yang diambilnya. Aku juga teringat dengan seorang sahabatku yang tidak pernah menghabiskan makanannya. Padahal kami selalu mengingatkan tentang kemubaziran. Aku juga teringat dengan berbagai macam jenis makanan yang pernah aku coba. Aku teringat dengan segala kenyamanan yang ada di rumah. Kehangatan keluarga, makanan yang selalu tersaji tanpa aku harus bersusah payah mencarinya, atau hanya tinggal melangkahkan kaki menuju warung terdekat untuk menikmati menu favorit masing-masing. Ah, melihat ke 'bawah' memang pasti akan membuat kita banyak bersyukur..

Ya Allah, semoga Engkau masih berkenan untuk menerima rasa syukur ini. Jangan Engkau azab kami karena kufur atas nikmat-Mu, Ya Rabb, ampuni kami... Astaghfirullah...

'Anak Jalanan'. Ah, aku tidak ingin menyebut mereka seperti itu, walaupun mereka memang dibesarkan di jalanan. Aku ingin menyebut mereka: Pejuang Jalanan, boleh kan (wah, Street Fighter dong?!). Mereka masih kecil, tapi mereka dituntut untuk bertanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri. Kemana Ayah? Kemana Ibu? Kemana Saudara? Kemana Pemerintah? Ah... tidak akan ada habisnya menyalahkan orang lain untuk keadaan yang sudah menjamur seperti ini. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing, peduli apa mereka akan seorang pengamen kecil di pinggiran ibu kota seperti ini. Pemerintah terlalu sibuk mencari celah untuk pelunasan hutang luar negeri yang semakin mencekik, mana sempat lagi mereka memikirkan kehidupan anak-anak terlantar, yang memang seharusnya berada di bawah pemeliharaan mereka (masih ingat UUD kita kan??).

Jika saja, semua orang sadar bahwa mereka mempunyai kewajiban atas status yang mereka sandang, apakah itu seorang 'Ayah', 'Ibu', 'Kakak', 'Saudara' apalagi 'Pemerintah'. Jika saja semua orang sadar bahwa rizki itu pemberian Allah, yang harus kita jemput, bukan sekedar menunggu; pastilah tidak akan ada orang-orang yang bermalas-malasan di rumah dengan keyakinan bahwa rizki mereka sudah ada yang mengatur. Jika saja semua orang sadar untuk meletakkan kepentingan primer di atas kepentingan sekunder atau bahkan tersier mereka, pastilah tidak akan ada anak-anak yang berhenti sekolah hanya karena orang tuanya menyisihkan uang untuk membeli antena parabola, atau mungkin pemerintah akan lebih meributkan masalah kurikulum pendidikan Indonesia, bukannya malah mempersengketakan baju seragam dan hari libur. Ah, sejauh manakah tanggung jawab bangsa ini terhadap masa depan generasi penerusnya?

Kulirik jam tanganku, masya Allah.. sudah hampir jam setengah 9 malam. Dengan agak tergesa aku sudahi obrolan kami, dan mengajak mereka keluar dari warung itu. Alhamdulillah, ternyata bis yang aku tunggu, tak lama kemudian lewat. Kulambaikan tangan dan kuucapkan salam, kami pun berpisah. Berpisah, dengan berjuta perasaan tak terlukiskan tersisa di hatiku...

----
Setelah malam itu, beberapa kali aku sempat melihat sosok kecil Jody di tempat yang sama. Sempat juga hadir untuk menyapa, tapi lebih sering memperhatikan dari jauh. Dia menunggu... Entah apa yang dinantinya. Entah siapa yang ditunggunya. Mungkin dia hanya menunggu, roda kehidupan akan berputar baginya, menunggu agar takdir baik bersahabat baginya. Ingin rasanya aku merengkuhnya dan mengabulkan semua mimpinya. Mimpinya ingin sekolah, mimpinya ingin menjadi insinyur, mimpinya ingin membahagiakan ibu dan adik-adiknya. Jody, maaf ya... Mba' tidak bisa membantu sejauh itu... Mungkin hanya limpahan doa yang bisa kurangkai untukmu dan teman-temanmu.

Semoga Allah berkenan menjaga kalian tetap berada dalam hidayah-Nya. Semoga Allah memuliakan kalian walaupun manusia memandang sebelah mata kepada kalian. Satu keyakinan yang harus kita pupuk bersama, hidup ini adalah ujian. Kesulitan adalah ujian, sebagaimana kelapangan pun demikian. Kemiskinan adalah ujian kesabaran, sebagaimana kekayaanpun membutuhkan kesabaran lebih dalam mengarunginya. Ujian, yang mungkin akan menaikkan peringkat kita di sisi Allah, atau justru akan merendahkan kita serendah-rendahnya. Wallahua'lam...
»»  Baca Selanjutnya...

Wednesday, February 02, 2005

Memang Hanya Hari Ini

Pernahkah kalian mendengar kata-kata bijak: Yesterday is a history, tomorrow is a mistery, today is a gift. That's why it's called 'The Present'. Atau juga yang ini: Jangan hidup di masa lalu, karena kamu tidak akan pernah dapat merubahnya. Jangan pernah juga hidup di masa depan, karena kita tidak pernah tahu kapan ia akan datang. Tapi hiduplah di masa kini, karena masa depan kita akan ditentukan oleh apa yang kita lakukan hari ini. Ataupun ungkapan-ungkapan senada, yang intinya melarang kita untuk hidup dalam masa lalu - segemilang apapun itu, atau sekelam apapun itu - dan melarang kita juga untuk hidup dalam mimpi masa depan jika mimpi itu tidak terealisasi dalam sebuah amal nyata.

Beberapa sms dari sahabat-sahabatku akhir-akhir ini memaksa aku untuk sejenak menengok ke belakang. Informasi yang mungkin akan berulang setiap tahun, permohonan untuk ikut berpartisipasi dalam suatu acara pembekalan bagi para mujahid dakwah. Tapi mungkin bedanya, sejak tahun lalu, aku hanya menjadi seorang 'alumni'. Gara-gara sms itu juga, aku membuka-buka lagi semua catatan rapat-rapat yang pernah aku hadiri, tausiyah (nasihat) dan taujih (pengarahan) yang pernah aku dengar dan sempat tercatat. Aku baca-baca lagi... Kadang sambil tersenyum mengingat semua kejadian yang ada di baliknya. Satu hal yang pasti, dunia mahasiswa itu memang dunianya anak muda ya (aduh.. jadi ngerasa udah tua nih ^_^), karena semua hal yang aku baca itu melukiskan satu hal: SEMANGAT!! HAMASAH!! GHIRAH!! Dan hal itu benar-benar membuat suatu rasa kembali mengkristal di dada: KANGEN...

Tulisan di bawah ini aku tulis beberapa bulan setelah aku 'meninggalkan' dunia kampus. Rasa rindu yang membuncah terhadap masa-masa manis perjuangan itu, membawaku kembali kesana... Saat energi perjuangan itu kurasakan mulai mengering dari jiwaku, berharap perjalanan yang kulakukan bisa mengembalikan - atau setidaknya meningkatkan - stamina perjuangan...

---
Bandung, 25 Juli 2004
Dulu, aku pernah menjadi bagian dari kampus ini. Namun kini, sekuat apapun aku mencoba untuk tetap menjadi bagian darinya, tetap tidak bisa!! Waktu seakan tidak mau berkompromi (dan memang begitulah yang telah diperintahkan Rabb-nya), padahal ingin sekali aku tetap berada didalamnya. Masa-masa yang penuh perjuangan, dihiasi peluh, airmata dan darah... tapi manis!! Memang benarlah janji Allah, perjuangan itu akan terasa manis, hanya bagi orang-orang yang memahami maknanya...
Sekarang, ketika aku mencoba untuk kembali lagi ke kampus ini, menyusuri tempat-tempat yang dulu aku andalkan untuk mengembalikan semangat perjuanganku, bertemu dengan sahabat-sahabat yang dulu aku percayai akan selalu berada bersamaku... Everything's changed... Rasanya sangat berbeda! Rasa kangen itu memang terobati, tapi ternyata memang dunia itu bukan milikku lagi, bukan juga milik sahabat-sahabat dari 'masa' kami. Zaman telah berganti. Dan setiap zaman, dengan karakteristik dan masalahnya masing-masing, akan memunculkan pahlawannya sendiri...

Ketika sebuah sunatullah tentang waktu dan usia berjalan, kita akan dihadapkan pada saat ini! Ya, hanya hari ini!!
---

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman dan beramal sholeh, dan saling menasihati dalam menetapi kebenaran dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran."
»»  Baca Selanjutnya...